• Jelajahi

    Copyright © Citra Nusa Online

    Iklan

    Iklan

    BUPATI KAMELUS SALAH PERSEPSI TENTANG WARTAWAN

    PT Mitratin Group
    Thursday, June 27, 2019, June 27, 2019 WIB Last Updated 2019-06-27T03:37:49Z

    Opini Oleh : Edi Danggur
    (Tanggapan Terhadap Sikap Bupati Manggarai Yang Tak Mau Difoto dan diberitakan tentang Kesaksiannya di Sidang Money Politic)

    Beberapa media online edisi  Kamis 25 Juni 2019 membuat berita berjudul “Bupati Kamelus Larang Wartawan Beritakan Dirinya di Sidang Money Politic”. Bupati Manggarai Dr Kamelus Deno SH MH memang pada hari itu memberi keterangan sebagai saksi dalam sidang tindak pidana money politic dalam pileg 17 April 2019 yang melibatkan anak buahnya. Bupati Deno tidak mau difoto,  tidak mau memberi keterangan dan bahkan melarang wartawan memberitakan dirinya jadi saksi di sidang money politic itu.

    Bisa jadi, Bupati tidak menghadiri sidang itu sejak awal. Sebab saat membuka sidang, hakim akan mmulai dengan mengetuk palu sambil mengucapkan bahwa sidang ini dinyatakan terbuka untuk umum.

    Apa rasionalitas atau filosofi sidang terbuka untuk umum? Apakah dasar hukum yang memerintahkan agar sidang pengadilan (termasuk kasus money politic) bersifat terbuka untuk umum itu diperintahkan undang-undang? Apakah benar UU ITE memberi hak kekebalan bagi bupati untuk tidak difoto dan tidak diberitakan tentang kehadirannya sebagai saksi dalam kasus money polic itu?

     *Rasionalitas Persidangan Terbuka Untuk Umum*

    Persidangan perkara pidana maupun perdata bersifat terbuka untuk umum. Semua orang yang pernah belajar ilmu hukum pasti tahu hal itu. Walaupun demikian agar hal ini dipahami semua orang maka setiap kali hakim mengetuk palu tanda dimulainya sidang hakim selalu mengucapkan kata-kata ini: Persidangan ini saya nyatakan terbuka untuk umum. Maka pintu masuk ruang sidang pun di buka sejak awal samapi selesainya sidang. Masyarakat umum termasuk wartawan boleh hadir, menyaksikan, mendengar, merekam dan mewartakan hasil sidang ke media massa.

    Terbuka untuk umumnya persidangan perkara dimaksudkan untuk menjamin objektivitas dalam pemeriksaan perkara itu dan  sekaligus menjamin terlaksananya asas equality before the law atau kesamaan kedudukan di depan hukum. Hakim harus mempertanggungjawabkan objektivitas peradilan kepada masyarakat. Bagi masyarakat yang tidak hadir di persidangan bisa membaca melalui media massa yang ditulis oleh para wartawan.

    Masyarakat boleh menyaksikan apakah palu hakim tumpul ke atas (pejabat) tetapi tajam ke bawah (rakyat kecil). Apakah hakim itu bersikap kasar terhadap burung merpati tetapi bersikap sangat lembut terhadap burung gagak. Apakah timbangan keadilan hakim itu berat sebelah atau pilih kasih. Masyarakat ingin memastikan bahwa di pengadilan semua orang diperlakukan sama tanpa ada yang dibeda-bedakan, ada kejujuran dalam pemeriksaan dan tidak memihak (imparsial).

    Persidangan yang bersifat terbuka untuk umum itu sifatnya imperatif, artinya tidak tergantung pada permintaan pejabat, atau tidak tergantung pada permintaan jaksa, terdakwa, pengacara , saksi-saksi. Suka atau tidak suka, persidangan terbuka untuk umum. Dengan begitu terbuka kontrol atau pengawasan dari masyarakat.

    Bahkan kalau terbukti hakim membuka sidang dengan pintu tertutup atau melaksanakan sidang di ruang hakim, maka putusan dalam perkara itu dianggap tidak, batal demi hukum, dianggap tidak pernah ada.

    Hanya dalam perkara perceraian atau perzinahan saja persidangan perkara itu dilakukan dengan pintu tertutup. Bisa dimengerti karena ada hal-hal bersifat sangat pribadi yang hanya bisa diungkap dalam sidang dan masyarakat luas tidak perlu tahu.

     *Dasar Hukum*

    Prinsip persidangan yang terbuka untuk umum itu merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 19 menegaskan: “Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum”. Pada Pasal 20 ditegaskan juga: “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.

    Masyarakat mempunyai hak konstitusional atas pelaksanaan persidangan yang terbuka untuk umum guna menjamin pelaksanaan kepastian hukum yang adil serta pelakuan yang sama di depan hukum (Vide Pasal 28D ayat 1 UUD 1945) dan jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil (Vide Pasal 7 TAP MPR No.XVII/MPR/1998). Sebab pengadilan wajib mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Vide Pasal 5 ayat 1 UU No.48 Tahun 2009). Maka jangan hanya karena seseorang mempunyai jabatan politik di pemerintahan lantas ia dapat perlakukan khusus untuk tidak diperiksa dalam sidang.

    Masyarakat juga mempunyai hak untuk mengetahui apakah tindak pidana money politic di Manggarai telah diperiksa oleh hakim yang jujur dan adil melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaaan yang objektif. Sebab hanya dengan pemeriksaan yang objektif, akan dapat diperoleh putusan yang adil dan benar (Vide Pasal 17 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).

     *Bupati Deno Tidak Boleh Melarang Wartawan Mewartakan tentang Dirinya*

    Mungkinkah Bupati Deno melarang wartawan mengambil foto dirinya untuk dipajang di media massa? Mungkinkah Bupati Deno melarang wartawan mewartakan di media massa tentang keterangannya sebagai saksi dalam sidang tindak pidana money politic? Itu pertanyaan-pertanyaan untuk mencoba berpikir positif, jangan-jangan wartawan salah mengutif.  Ternyata, sesudahnya Bupati Deno memberikan keterangan pers yang tidak membantah hal-hal yang ditulis wartawan terdahulu.

    Maka berlakulah adagium hukum ini: silence can be amount as acceptance, sikap diam atau tidak membantah dianggap sebagai tanda menyetujui atau menerima (kebenaran tentang apa yang ditulis wartawan-wartawan sebelumnya). Bahkan Bupati Deno menegaskan hanya mau diajak bicara dan memberikan keterangan kepada orang-orang yang dia kenal.

    Pernyataan demikian, tidak hanya menegaskan bahwa Bupati Deno tidak paham prinsip-prinsip peradilan yang harus ditegakkan dalam bingkai negara hukum. Tetapi lebih dari itu Bupati Deno lupa diri bahwa ia seorang pejabat publik, seorang bupati. Sebagai pejabat publik, Deno harus omong terbuka kepada wartawan, entah wartawan itu dikenalnya atau tidak. Sebab ada kepentingan yang lebih besar, di luar kepentingan Bupati Deno pribadi dan kepentingan wartawan.
    Wartawan juga perlu menjawab pertanyaan yang ada di benak rakyat di Desa Terong apakah bupatinya terlibat dalam tindak pidana money politic yang terjadi di desa mereka. Pertanyaan itu wajar sebab orang-orang yang diduga terlibat dalam tindak pidana money politic itu adalah caleg PAN dan pengurus PAN. Apalagi Bupati Deno adalah Ketua DPC PAN Kabupaten Manggarai.

    Terlalu mengada-ada kalau Bupati Deno menyebut UU ITE yang membenarkan argumentasinya tidak boleh dipotret wartawan dan memuat keterangannya di media massa. Sebab yang dilarang di UU ITE tidak boleh membuat berita yang punya muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman (Vide Pasal 27 UU ITE). Memotret, meminta keterangan dan memuat pernyataan pejabat publik di media massa bukan pelanggaran hukum.

     *Kesimpulan*

    Tidak ada yang salah dari tindakan wartawan memotret Bupati Deno saat ada di PN Ruteng. Tidak ada yang salah juga kalau wartawan minta keterangan Bupati dan mewartakannya di media massa. Itu hak universal karena hak demikian diatur dalam Deklarasi HAM dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Hak-hak demikian juga merupakan hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.

    Yang salah adalah persepsi Bupati Deno tentang wartawan dan cara kerja wartawan. Seolah-olah wartawan berusaha mencari-cari kesalahan dalam dirinya. Bupati Deno pun bersikap galak dengan melarang juruwarta memotret dan mewartakan dirinya sebagai saksi tindak pidana money politic di PN Ruteng.

    Kaum bijak biasanya mengajarkan, hanya orang yang dihantui rasa takut, yang bersikap galak kepada orang baik. Walaupun kadangkala rasa takut itu tidak pernah diharapkan dan tidak pernah datang tanpa alasan.  (Penulis adalah Dosen FH Unika Atma Jaya Jakarta dan Advokad, Tinggal di Jakarta)
    Komentar

    Tampilkan

    No comments:

    Terkini