TANAH HUMBA atau Pulau
Sumba adalah pulau dengan padang savana yang membentang luas. Padang savana di
Pulau Humba dipercantik dengan tampilan gagah kuda Sandalwood yang perkasa.
Kuda yang tak kenal lelah menyusuri padang dan lereng Pulau Humba, tanah
warisan leluhur. Binatang piaraan yang telah menyatu dengan kehidupan
masyarakat ada setempat ini semakin menambah maraknya perang akbar Pasola
Perang yang merupakan
ritual adat antar kelompok dengan saling melempar tombak/lembing kayu sambil menunggangi
dan memacu Kuda Sandalwood. Pasola ini merupakan ritual untuk menyambut
datangnya Si Putri Cantik dari khayangan yang menjelmakan dirinya dalam ujud
cacing laut alias nyale. Sebelum
Pasola dilangsungkan, akan muncul jutaan nyale
disepanjang pantai selatan Pulau Sumba.
Sebelum Pesta Nyale, para Rato (Tua Adat, red) akan
melakukan ritual adat tempat di tengah malam saat Bulan Purnama sebagai tanda
dimulainya Pesta Nyale dan untuk
memanggil nyale ke tepi pantai agar
dapat ditangkap oleh warga setempat pada pagi harinya. Semakin banyak nyale yang datang atau terlihat di tepi
panjtai untuk ditangkap warga, menandakan akan semakin baik hasil panen warga
pada tahun itu
Setelah ritual oleh
para Rato, biasanya diselenggarakan tindju tradisional untuk menanti datangnya
pagi. Dalam tinju tradisional ini, ada dua kelompok pemuda akan saling
berlawanan. Kepala tangan mereka dibalut dengan batang/daun alang-alang.
Tak boleh ada dendam
setelah tinju tradisional itu dilakukan. Luka dan darah segar yang menetes dari
tubuh para pemuda tersebut diyakini akan membawa kesuburan bagi tanah Humba.
Saat pagi datang, para
warga akan memenuhi pantai untuk menangkap nyale
(cacing laut, red) yang diyakini sebagai jelmaan dari puteri cantik. Dengan alat tangkap seadanya, masyarakat akan
berlomba-lomba untuk menangkap nyale
sebanyak-banyaknya. Mereka meyakini, semakin banyak nyale yang ditangkap maka akan semakin banyak pula hasil panen/rejeki
penangkapnya pada tahun itu.
Rangkaian Pesta Nyale itu akan ditutup dengan Pasola.l
Pasola berasal dari kata ‘Sola’ atau ‘Hola’ yang berarti lembing atau kayu
yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu dengan kencang
oleh dua kelompok yang saling berlawanan. Setelah mendapat imbuhan ‘pa’ (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi Pasola atau Pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar
lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua
kelompok yang berlawanan.
Pasola diselenggarakan
2 kali setahun di Kabupaten Sumba Barat, yakni di Kecamatan Lamboya dan
Wanokaka pada Bulan Maret. Sedangkan di Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya
dilakukan dua kali pada Bulan Februari, yakni Pasola 1 dan Pasola 2 (dalam 2
hari berturut-turut, red) namun pada tempat berbeda di sekitar Pantai Selatan
Pulau Sumba yang dikenal cantik dengan hamparan pasir putih yang luas.
Pasola diselenggarakan
di atas bentangan padang yang luas dengan disaksikan oleh segenap warga Kabisu
dan Praingu dari kedua kelompok yang bertanding serta disaksikan masyarakat
umum. Peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabisu yang harus
menguasai dua keterampilan sekaligus, yakni memacu kuda dan melempar lembing (hola). Pasola merupakan klimaks dari
seluruh rangkaian dalam rangka Pesta Nyale.
Megalitikum Laitarung
Menelusuri Pulau
Sumba, anda akan menjumpai kampung-kampung adat dengan pekuburan megalitiknya.
Anda pasti akan bergumam ‘Sumba adalah Pulau Para Arwah’. Karena di setiap kampung, anda pasti akan
menjumpai pekuburan megalitik di tengah perkampungan.
Nama Sumba atau Humba
berasal dari nama Ibu Model Rambu Humba, isteri kekasih hati Umbu Mandoku,
salah satu peletak landasan suku-suku atas kabisu-kabisu Sumba. Dua pertiga
penduduk Pulau Sumba adalah pemeluk yang khusuk berbakti kepada arwah para leluhurnya.
Khususnya kepada Bapak Besar bersama, sang pengasal semua suku Marapu menurut
petunjuk dan perhitungan para Rato, Pemimpin Suku dan Imam Agung para Marapu.
Altar megalitik dan
batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampung dan dusung (paraingu) adalah bukti pasti akan
kepercayaan animisme di Pulau Sumba.
Salah satu peninggalah
sejarah yang dapat dikunjungi adalah situs Megalitikum Laitarung di Desa Makateri
(sekitar 700 dpl), Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah. Situs
Megalitikum Laitarung merupakan Kampung Adat Megalitik dengan menhir kuo sejak
purbakala.
Ada berbagai ornament
ukiran, seperti manusia, ayam, kuda, kerbau, mamoli (hiasan telinga yang
dijadikan mas kawin/mahar perkawinan).
Di kampung adat ini sering dilakukan upacara adat setiap tahunnya dan
telah dilakukan secara turun-temurun.
Megalitikum Laitarung merupakan
situs budaya berupa batu ukiran konon yang sangat keramat. Konon ada Batu Megalitik kuno berbentuk
pipih yang dapat berdiri tegak walaupun tidak ditanam. Diterpa hujan badai pun,
batu kono itu tak pernah goyang, bergeser atau berpindah dari tempatnya.
Daya tarik lainnya
adalah pesona alam yang indah dan masih alami dengan iklim yang sejuk.
Kehidupan tradisional masyarakatnya masih kental dengan ritual adat dan pesta
adat. Ini merupakan daya tarik tersendiri yang sulit dilupakan
Sumba Jadi Destinasi Wisata Dunia Masa
Depan
Pulau
Sumba nan cantik dan kaya akan budaya bak gadis cantik yang belum didandani.
Para wisatawan dari berbagai belahan dunia yang datang ke Pulau Sumba sudah
pasti akan berdecak kagum. Bahkan Sumba disebut-sebut akan menjadi destinasi
wisata dunia di masa yang akan datang.
Hal
itu dikatakan Kepala Biro Humas dan Protokol NTT, Marius Ardu Jelamu kepada
media ini beberapa waktu lalu di Kupang. Menurut mantan Kadis Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif NTT ini, Pulau Sumba mendapat perhatian serius dan Pemprov NTT.
“Sudah
tentu Pemprov NTT memberikan perhatian serius untuk pengembangan Pariwisata di
Pulau Sumba. Pulau ini punya potensi luar biasa, baik dari pesona alammya
maupun budaya masyarakat setempat sehingga akan dikembangkan menjadi destinasi
wisata dunia di masa yang akan datang,” jelas Jelamu.
Keseriusan
Pemprov NTT itu, lanjut Jelamu, ditunjukan dengan digelarnya Festival Parade
1001 Kuda Sandalwood dan festival tenun ikat di Pulau Sumba. “Festival ini
sudah menjadi kegiatan tetap yang akan dilaksanakan setiap tahun. Walaupun
tahun ini belum dapat dilaksanakan karena wabah Covid-19 yang melanda dunia,”
ujarnya.
Menurut
Jelamu, penyelenggaraan 2 festival itu akan memperkuat branding/merek Pulau
Sumba sebagai destinasi wisata dunia di masa yang akan datang. "Saya yakin bahwa kedua festival itu
akan semakin memperkuat branding
pariwisata Sumba dan NTT secara khusus dan Pariwisata Indonesia pada umumnya.
Ini juga akan menambah daya tarik Sumba yang sudah unik seperti Atraksi Pasola,
Situs Megalitik, dan budaya Marapu-nya," kata tandas Marius.
Menurut Jelamu,
ditahun yang akan datang (setelah berakhirnya pandemi Covid-19, red) Pemprov
NTT akan kembali menyelenggarakan festival Parade 1001 Kuda Sandelwood dan
Festival tenun ikat di Pulau Sumba. “Kita berharap kedua festival itu akan
menarik lebih banyak wisatawan ke Pulau Sumba. Mudah-mudahan tekad kita untuk
menjadikan Pulau Sumba sebagai destinasi wisata dunia di masa depan akan cepat
terwujud,” ungkapnya. (cn/adv/ian
No comments:
Post a Comment