• Jelajahi

    Copyright © Citra Nusa Online

    Iklan

    Iklan

    Pesta Nyale dan Atraksi Pasola di Tanah Humba

    PT Mitratin Group
    Friday, July 10, 2020, July 10, 2020 WIB Last Updated 2020-07-10T02:37:07Z

    TANAH HUMBA atau Pulau Sumba adalah pulau dengan padang savana yang membentang luas. Padang savana di Pulau Humba dipercantik dengan tampilan gagah kuda Sandalwood yang perkasa. Kuda yang tak kenal lelah menyusuri padang dan lereng Pulau Humba, tanah warisan leluhur. Binatang piaraan yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat ada setempat ini semakin menambah maraknya perang akbar Pasola

    Perang yang merupakan ritual adat antar kelompok dengan saling melempar tombak/lembing kayu sambil menunggangi dan memacu Kuda Sandalwood. Pasola ini merupakan ritual untuk menyambut datangnya Si Putri Cantik dari khayangan yang menjelmakan dirinya dalam ujud cacing laut alias nyale. Sebelum Pasola dilangsungkan, akan muncul jutaan nyale disepanjang pantai selatan Pulau Sumba.


    Sebelum Pesta Nyale, para Rato (Tua Adat, red) akan melakukan ritual adat tempat di tengah malam saat Bulan Purnama sebagai tanda dimulainya Pesta Nyale dan untuk memanggil nyale ke tepi pantai agar dapat ditangkap oleh warga setempat pada pagi harinya. Semakin banyak nyale yang datang atau terlihat di tepi panjtai untuk ditangkap warga, menandakan akan semakin baik hasil panen warga pada tahun itu

    Setelah ritual oleh para Rato, biasanya diselenggarakan tindju tradisional untuk menanti datangnya pagi. Dalam tinju tradisional ini, ada dua kelompok pemuda akan saling berlawanan. Kepala tangan mereka dibalut dengan batang/daun alang-alang.
    Tak boleh ada dendam setelah tinju tradisional itu dilakukan. Luka dan darah segar yang menetes dari tubuh para pemuda tersebut diyakini akan membawa kesuburan bagi tanah Humba.


    Saat pagi datang, para warga akan memenuhi pantai untuk menangkap nyale (cacing laut, red) yang diyakini sebagai jelmaan dari puteri cantik.  Dengan alat tangkap seadanya, masyarakat akan berlomba-lomba untuk menangkap nyale sebanyak-banyaknya. Mereka meyakini, semakin banyak nyale yang ditangkap maka akan semakin banyak pula hasil panen/rejeki penangkapnya pada tahun itu.

    Rangkaian Pesta Nyale itu akan ditutup dengan Pasola.l Pasola berasal dari kata ‘Sola’ atau ‘Hola’ yang berarti lembing atau kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu dengan kencang oleh dua kelompok yang saling berlawanan. Setelah mendapat imbuhan ‘pa’ (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi Pasola atau Pahola  berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.

    Pasola diselenggarakan 2 kali setahun di Kabupaten Sumba Barat, yakni di Kecamatan Lamboya dan Wanokaka pada Bulan Maret. Sedangkan di Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya dilakukan dua kali pada Bulan Februari, yakni Pasola 1 dan Pasola 2 (dalam 2 hari berturut-turut, red) namun pada tempat berbeda di sekitar Pantai Selatan Pulau Sumba yang dikenal cantik dengan hamparan pasir putih yang luas.

    Pasola diselenggarakan di atas bentangan padang yang luas dengan disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Praingu dari kedua kelompok yang bertanding serta disaksikan masyarakat umum. Peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabisu yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus, yakni memacu kuda dan melempar lembing (hola). Pasola merupakan klimaks dari seluruh rangkaian dalam rangka Pesta Nyale.

    Megalitikum Laitarung
    Menelusuri Pulau Sumba, anda akan menjumpai kampung-kampung adat dengan pekuburan megalitiknya. Anda pasti akan bergumam ‘Sumba adalah Pulau Para Arwah’.  Karena di setiap kampung, anda pasti akan menjumpai pekuburan megalitik di tengah perkampungan.


    Nama Sumba atau Humba berasal dari nama Ibu Model Rambu Humba, isteri kekasih hati Umbu Mandoku, salah satu peletak landasan suku-suku atas kabisu-kabisu Sumba. Dua pertiga penduduk Pulau Sumba adalah pemeluk yang khusuk berbakti kepada arwah para leluhurnya. Khususnya kepada Bapak Besar bersama, sang pengasal semua suku Marapu menurut petunjuk dan perhitungan para Rato, Pemimpin Suku dan Imam Agung para Marapu.

    Altar megalitik dan batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampung dan dusung (paraingu) adalah bukti pasti akan kepercayaan animisme di Pulau Sumba.
    Salah satu peninggalah sejarah yang dapat dikunjungi adalah situs Megalitikum Laitarung di Desa Makateri (sekitar 700 dpl), Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah. Situs Megalitikum Laitarung merupakan Kampung Adat Megalitik dengan menhir kuo sejak purbakala.

    Ada berbagai ornament ukiran, seperti manusia, ayam, kuda, kerbau, mamoli (hiasan telinga yang dijadikan mas kawin/mahar perkawinan).  Di kampung adat ini sering dilakukan upacara adat setiap tahunnya dan telah dilakukan secara turun-temurun.

    Megalitikum Laitarung merupakan situs budaya berupa batu ukiran konon yang sangat keramat. Konon ada Batu Megalitik kuno berbentuk pipih yang dapat berdiri tegak walaupun tidak ditanam. Diterpa hujan badai pun, batu kono itu tak pernah goyang, bergeser atau berpindah dari tempatnya.

    Daya tarik lainnya adalah pesona alam yang indah dan masih alami dengan iklim yang sejuk. Kehidupan tradisional masyarakatnya masih kental dengan ritual adat dan pesta adat. Ini merupakan daya tarik tersendiri yang sulit dilupakan

    Sumba Jadi Destinasi Wisata Dunia Masa Depan
    Pulau Sumba nan cantik dan kaya akan budaya bak gadis cantik yang belum didandani. Para wisatawan dari berbagai belahan dunia yang datang ke Pulau Sumba sudah pasti akan berdecak kagum. Bahkan Sumba disebut-sebut akan menjadi destinasi wisata dunia di masa yang akan datang.
    Hal itu dikatakan Kepala Biro Humas dan Protokol NTT, Marius Ardu Jelamu kepada media ini beberapa waktu lalu di Kupang. Menurut mantan Kadis Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT ini, Pulau Sumba mendapat perhatian serius dan Pemprov NTT.
    “Sudah tentu Pemprov NTT memberikan perhatian serius untuk pengembangan Pariwisata di Pulau Sumba. Pulau ini punya potensi luar biasa, baik dari pesona alammya maupun budaya masyarakat setempat sehingga akan dikembangkan menjadi destinasi wisata dunia di masa yang akan datang,” jelas Jelamu.
    Keseriusan Pemprov NTT itu, lanjut Jelamu, ditunjukan dengan digelarnya Festival Parade 1001 Kuda Sandalwood dan festival tenun ikat di Pulau Sumba. “Festival ini sudah menjadi kegiatan tetap yang akan dilaksanakan setiap tahun. Walaupun tahun ini belum dapat dilaksanakan karena wabah Covid-19 yang melanda dunia,” ujarnya.
    Menurut Jelamu, penyelenggaraan 2 festival itu akan memperkuat branding/merek Pulau Sumba sebagai destinasi wisata dunia di masa yang akan datang.  "Saya yakin bahwa kedua festival itu akan semakin memperkuat branding pariwisata Sumba dan NTT secara khusus dan Pariwisata Indonesia pada umumnya. Ini juga akan menambah daya tarik Sumba yang sudah unik seperti Atraksi Pasola, Situs Megalitik, dan budaya Marapu-nya," kata tandas Marius.
    Menurut Jelamu, ditahun yang akan datang (setelah berakhirnya pandemi Covid-19, red) Pemprov NTT akan kembali menyelenggarakan festival Parade 1001 Kuda Sandelwood dan Festival tenun ikat di Pulau Sumba. “Kita berharap kedua festival itu akan menarik lebih banyak wisatawan ke Pulau Sumba. Mudah-mudahan tekad kita untuk menjadikan Pulau Sumba sebagai destinasi wisata dunia di masa depan akan cepat terwujud,” ungkapnya. (cn/adv/ian
    Komentar

    Tampilkan

    No comments:

    Terkini