• Jelajahi

    Copyright © Citra Nusa Online

    Iklan

    Iklan

    Kredit Macet Bank NTT Tidak Bisa Dipidana Korupsi

    PT Mitratin Group
    Friday, November 6, 2020, November 06, 2020 WIB Last Updated 2021-07-22T09:44:19Z


    Kupang, Citra Nusa Online.Com - Kasus Kredit macet di Bank Pembangunan Daerah (BPD) NTT alias Bank NTT merupakan masalah perdata sehingga tidak dapat dipidana (dengan Undang-Undang Perbankan, red), apalagi diproses dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor).

    Demikian keterangan dari saksi Ahli Hukum Pidana Korupsi Dr. Bambang Suheryadi, SH, M.Hum yang dihadirkan Tim Kuasa Hukum terdakwa YS dan SS dalam sidang Keterangan Saksi Ahli yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Dju Johnson Mira Manggi, SH, M.Hum didampingi anggota Majelis Hakim Ali Muhtarom, SH, MH dan Ari Prabowo, SH di Pengadilan Tipikor Kupang, Kamis (5/11/20).  

    “Kalau permohonan kredit diajukan sesuai SOP, agunan ada dan dinilai dengan benar, kredit dicairkan, tapi kemudian macet. Itu tidak bisa diproses pidana. Kalau saya sepanjang sejak awal tidak ada unsur kesengajaan/niat (fraud/kecurangan perbankan, red) untuk memperkaya diri yang melawan hukum dan merugikan negara tidak bisa dipidana,” ujarnya. 

    Dalam sidang yang berlangsung sejak Pukul 10.00 (Jam 10 pagi) hingga Pukul 21.00 (Jam 9 malam) tersebut menghadirkan 2 orang saksi ahli, yakni Ahli Hukum Pidana Korupsi, Dr. Bambang Suheryadi, SH, M.Hum dan Ahli Hukum Perbankan Dr. Prawita Thalib, SH, MH dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.  Sedangkan YS dan SS dihadirkan secara online dari Rutan Kupang.

    Dalam keterangannya, Saksi Ahli Hukum Pidana Korupsi, Dr. Bambang Suheryadi, SH, M.Hum berulangkali menegaskan bahwa perikatan/perjanjian kredit antara kreditur (bank) dan debitur (nasabah) merupakan perbuatan keperdataan, sehingga apabila terjadi wanprestasi (ingkar yang dilakukan oleh salah satu pihak, red) maka penyelesaiannya harus ditempuh dengan upaya hukum keperdataan (sesuai perjanjian/perikatan/kontrak) yang telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.  

    “Jika proses kredit, sejak permohonan kredit, pengajuan agunan, analisis kredit, hinggga pencairan kredit dilakukan secara benar sesuai SOP (Standar Operasi dan Prosedur, red) dan kemudian hari kredit tersebut macet maka pihak-pihak yang terkait tidak bisa dipidana. Penyelesaiannya tetap dilakukan secara perdata, yakni melelang jaminan/agunan yang sebelumnya telah diikat hak tanggungannya secara sempurna,” jelasnya menjawab pertanyaan Tim Kuasa Hukum JS dan SS dari Kantor Hukum Amos H.Z. Taka & Associates (Amos H.Z Taka, SH, MH, Dr. Melkianus Ndaomanu, SH, M.Hum, Chindra Adiano, SH, MH, CLA, Nurmawan Wahyudi, SH, MH).

    Proses pidana terhadap kredit macet, lanjut Bambang, dapat dilakukan bila sejak awal perbuatan perdata tersebut telah ada niat/keinginan buruk yang melawan hukum oleh pihak-pihak yang melakukan perikatan/perjanjian). “Contohnya, saya mengkoordinir pengajuan kredit untuk 50 orang, tapi sejak awal saya sudah bilang bahwa nanti kamu dapat sekian, saya dapat sekian. Itu sudah ada niat. Lalu saat kredit cair saya hanya memberikan sebagian dananya. Lalu kreditnya macet. Kalau seperti itu, sudah ada niat jahat/buruk sejak awal yang melawan hukum sehingga itu bisa dipidana,” paparnya.

    Namun, jelas Bambang, jika sejak permohonan, pengajuan agunan, analisis kredit hingga pencairan dana tidak ada unsur kesengajaan yang melawan hukum, maka tidak bisa dipidana (pidana perbankan, red).  “Sepanjang proses kredit itu sejak tidak ada niat buruk/jahat yang melawan hukum, maka itu tidak bisa dipidana,” tegasnya menjawab pertanyaan Tim Pengacara.

    Tim Pengacara YS ddan SS

    Saat ditanya Tim Pengacara, apakah kredit macet dapat diproses sebagai Tindak Pidana Korupsi yang merugikan keuangan negara? Bambang mengatakan, kredit macet tidak bisa proses sebagai tindak pidana korupsi yang merugikan negara. 

    “Tadi saya sampaikan bahwa keuangan negara itu ada dua, yaitu keuangan negara yang tidak dipisahkan seperti APBN/APBD dan keuangan negara yang dipisahkan seperti pada BUMN/BUMND.  Ini harus dibedakan, kalau pada APBN/APBD bisa langsung dikategorikan kerugian negara. Tapi pada keuangan negara yang dipisahkan seperti pada BUMN/BUMD tidak bisa serta merta dikategorikan sebagai kerugian negara,” tandasnya.

    Menurutnya, ada perbedaan dalam menilai apakah terjadi suatu kerugian negara dalam lembaga/instansi pemerintah (APBN/APBD) dan BUMN/BUMN.  “Dalam pengelolaan keuangan negara yang tidak dipisahkan (APBN/APBD), kerugian yang dialami bisa langsung dikategorikan sebagai kerugian negara. Tapi pada pengelolaan keuangan negara pada BUMN/BUMD tidak serta merta bisa dikategorikan kerugian negara,” ungkap Bambang.

    Bambang memaparkan, dalam BUMN/BUMD, negara melakukan penyertaan modal (investasi, red) dalam bentuk saham (minimal 51%, red) dan negara/daerah mendapatkan deviden (pembagian hasil usaha dari  penyertaan modal, red). “Sehingga jika terjadi masalah, belum tentu serta merta menurunkan saham yang diinvestasikan oleh negara/daerah dalam BUMN/BUMD tersebut,” ujarnya.

    Kalau kredit macet, jelasnya, bisa saja menurunkan keuntungan BUMN/BUMD dan menurunkan besaran deviden yang dibagikan kepada pemegang saham, tetapi uang negara yang telah diinvestasikan dalam bentuk saham pada BUMN/BUMD tersebut nilainya tetap atau tidak berkurang nilainya. “Kalau sahamnya 51 % yah tetap 51%.  Tidak pernah ada direksi BUMN yang dipidana kalau merugi.  Menurut saya, sepanjang dilakukan berdasarkan aturan pengelolaan (tidak melawan hukum) tidak bisa dipidana,” tegasnya. 

    Seperti diberitakan berbagai media sebelumnya, YS dan SS ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT bersama beberapa tersangka lainnya dalam kasus kredit macet Bank NTT Cabang Surabaya total kredit sekitar Rp 130 Milyar.

    Berdasarkan fakta persidangan, YS adalah salah satu debitur Bank NTT yang kreditnya dalam retrukturisasi/penjadwalan ulang kredit.  Sedangkan SS adalah seorang pelaku jual beli aset yang tidak terlibat dalam kredit macet saudaranya, YS. Namun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), YS dan SS didakwa melakukan tindak pidana korupsi sesuai Pasal 2 dan 3 serta Pasal 18 UU Tipikor, dan Pasal 55 KUHP. (cn/tim)Saksi Ahli: Kredit Macet Bank NTT Tidak Bisa Dipidana

    Kasus Kredit macet di Bank Pembangunan Daerah (BPD) NTT alias Bank NTT merupakan masalah perdata sehingga tidak dapat dipidana (dengan Undang-Undang Perbankan, red), apalagi diproses dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor).

    Demikian keterangan dari saksi Ahli Hukum Pidana Korupsi Dr. Bambang Suheryadi, SH, M.Hum yang dihadirkan Tim Kuasa Hukum terdakwa YS dan SS dalam sidang Keterangan Saksi Ahli yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Dju Johnson Mira Manggi, SH, M.Hum didampingi anggota Majelis Hakim Ali Muhtarom, SH, MH dan Ari Prabowo, SH di Pengadilan Tipikor Kupang, Kamis (5/11/20).  

    “Kalau permohonan kredit diajukan sesuai SOP, agunan ada dan dinilai dengan benar, kredit dicairkan, tapi kemudian macet. Itu tidak bisa diproses pidana. Kalau saya sepanjang sejak awal tidak ada unsur kesengajaan/niat (fraud/kecurangan perbankan, red) untuk memperkaya diri yang melawan hukum dan merugikan negara tidak bisa dipidana,” ujarnya. 

    Dalam sidang yang berlangsung sejak Pukul 10.00 (Jam 10 pagi) hingga Pukul 21.00 (Jam 9 malam) tersebut menghadirkan 2 orang saksi ahli, yakni Ahli Hukum Pidana Korupsi, Dr. Bambang Suheryadi, SH, M.Hum dan Ahli Hukum Perbankan Dr. Prawita Thalib, SH, MH dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.  Sedangkan YS dan SS dihadirkan secara online dari Rutan Kupang.

    Dalam keterangannya, Saksi Ahli Hukum Pidana Korupsi, Dr. Bambang Suheryadi, SH, M.Hum berulangkali menegaskan bahwa perikatan/perjanjian kredit antara kreditur (bank) dan debitur (nasabah) merupakan perbuatan keperdataan, sehingga apabila terjadi wanprestasi (ingkar yang dilakukan oleh salah satu pihak, red) maka penyelesaiannya harus ditempuh dengan upaya hukum keperdataan (sesuai perjanjian/perikatan/kontrak) yang telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.  

    “Jika proses kredit, sejak permohonan kredit, pengajuan agunan, analisis kredit, hinggga pencairan kredit dilakukan secara benar sesuai SOP (Standar Operasi dan Prosedur, red) dan kemudian hari kredit tersebut macet maka pihak-pihak yang terkait tidak bisa dipidana. Penyelesaiannya tetap dilakukan secara perdata, yakni melelang jaminan/agunan yang sebelumnya telah diikat hak tanggungannya secara sempurna,” jelasnya menjawab pertanyaan Tim Kuasa Hukum JS dan SS dari Kantor Hukum Amos H.Z. Taka & Associates (Amos H.Z Taka, SH, MH, Dr. Melkianus Ndaomanu, SH, M.Hum, Chindra Adiano, SH, MH, CLA, Nurmawan Wahyudi, SH, MH).

    Proses pidana terhadap kredit macet, lanjut Bambang, dapat dilakukan bila sejak awal perbuatan perdata tersebut telah ada niat/keinginan buruk yang melawan hukum oleh pihak-pihak yang melakukan perikatan/perjanjian). “Contohnya, saya mengkoordinir pengajuan kredit untuk 50 orang, tapi sejak awal saya sudah bilang bahwa nanti kamu dapat sekian, saya dapat sekian. Itu sudah ada niat. Lalu saat kredit cair saya hanya memberikan sebagian dananya. Lalu kreditnya macet. Kalau seperti itu, sudah ada niat jahat/buruk sejak awal yang melawan hukum sehingga itu bisa dipidana,” paparnya.

    Namun, jelas Bambang, jika sejak permohonan, pengajuan agunan, analisis kredit hingga pencairan dana tidak ada unsur kesengajaan yang melawan hukum, maka tidak bisa dipidana (pidana perbankan, red).  “Sepanjang proses kredit itu sejak tidak ada niat buruk/jahat yang melawan hukum, maka itu tidak bisa dipidana,” tegasnya menjawab pertanyaan Tim Pengacara.


    Saat ditanya Tim Pengacara, apakah kredit macet dapat diproses sebagai Tindak Pidana Korupsi yang merugikan keuangan negara? Bambang mengatakan, kredit macet tidak bisa proses sebagai tindak pidana korupsi yang merugikan negara. 

    “Tadi saya sampaikan bahwa keuangan negara itu ada dua, yaitu keuangan negara yang tidak dipisahkan seperti APBN/APBD dan keuangan negara yang dipisahkan seperti pada BUMN/BUMND.  Ini harus dibedakan, kalau pada APBN/APBD bisa langsung dikategorikan kerugian negara. Tapi pada keuangan negara yang dipisahkan seperti pada BUMN/BUMD tidak bisa serta merta dikategorikan sebagai kerugian negara,” tandasnya.

    Menurutnya, ada perbedaan dalam menilai apakah terjadi suatu kerugian negara dalam lembaga/instansi pemerintah (APBN/APBD) dan BUMN/BUMN.  “Dalam pengelolaan keuangan negara yang tidak dipisahkan (APBN/APBD), kerugian yang dialami bisa langsung dikategorikan sebagai kerugian negara. Tapi pada pengelolaan keuangan negara pada BUMN/BUMD tidak serta merta bisa dikategorikan kerugian negara,” ungkap Bambang.

    Bambang memaparkan, dalam BUMN/BUMD, negara melakukan penyertaan modal (investasi, red) dalam bentuk saham (minimal 51%, red) dan negara/daerah mendapatkan deviden (pembagian hasil usaha dari  penyertaan modal, red). “Sehingga jika terjadi masalah, belum tentu serta merta menurunkan saham yang diinvestasikan oleh negara/daerah dalam BUMN/BUMD tersebut,” ujarnya.

    Kalau kredit macet, jelasnya, bisa saja menurunkan keuntungan BUMN/BUMD dan menurunkan besaran deviden yang dibagikan kepada pemegang saham, tetapi uang negara yang telah diinvestasikan dalam bentuk saham pada BUMN/BUMD tersebut nilainya tetap atau tidak berkurang nilainya. “Kalau sahamnya 51 % yah tetap 51%.  Tidak pernah ada direksi BUMN yang dipidana kalau merugi.  Menurut saya, sepanjang dilakukan berdasarkan aturan pengelolaan (tidak melawan hukum) tidak bisa dipidana,” tegasnya. 

    Seperti diberitakan berbagai media sebelumnya, YS dan SS ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT bersama beberapa tersangka lainnya dalam kasus kredit macet Bank NTT Cabang Surabaya total kredit sekitar Rp 130 Milyar.

    Berdasarkan fakta persidangan, YS adalah salah satu debitur Bank NTT yang kreditnya dalam retrukturisasi/penjadwalan ulang kredit.  Sedangkan SS adalah seorang pelaku jual beli aset yang tidak terlibat dalam kredit macet saudaranya, YS. Namun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), YS dan SS didakwa melakukan tindak pidana korupsi sesuai Pasal 2 dan 3 serta Pasal 18 UU Tipikor, dan Pasal 55 KUHP. (cnn/tim)

    Komentar

    Tampilkan

    No comments:

    Terkini